Digitalmania – Media sosial seperti tempat tinggal kedua bagi para warganet dunia, terutama Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang memiliki pengguna terbesar di dunia. Apa jadinya jika untuk menggunakan media sosial pengguna harus membayar pajak, seperti yang terjadi di Uganda.
Pada bulan Juni, pemerintah Uganda mengeluarkan undang-undang baru yang mengharuskan warga membayar pajak 200 shillings Uganda (sekitar $0,05) atau setara 721 rupiah per hari untuk menggunakan platform media sosial, termasuk WhatsApp, Twitter, dan Facebook, tiga aplikasi paling populer di sana. Dan kebijakan ini sudah berlaku sejak 1 Juli kemarin.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemerintah dana yang dapat digunakan untuk menangani “konsekuensi” dari penyebaran “lugambo” (gosip) melalui jejaring sosial, kata Presiden Yoweri Museveni. Namun, Museveni tidak menjelaskan persis bagaimana gosip ini merugikan pemerintah secara finansial.
Tidak tinggal diam, warga Uganda mulai melawan balik tindakan pemerintahnya tersebut, mereka berpendapat bahwa masalahnya bukanlah pada uang, tetapi tentang membungkam suara warga Uganda “Peluang kami untuk berbicara tentang dilema sosial, ekonomi dan politik sedang dibatasi. #SocialMediaTax membatasi interaksi kami,” tweet @agabacollins. Namun ada dugaan bahwa kebijakan ini terkait dengan gerakan pemberontak di akar rumput yang terkoordinasi melalui media sosial.
Mungkin dugaan tersebut ada benarnya, tapi bagi warga Uganda media sosial menjadi alat yang paling mudah untuk menyampaikan aspirasi mereka terutama bagi kalangan bawah. Adanya pajak seperti ini mencegah penduduk Uganda, terutama orang-orang miskin yang tidak dapat membayar pajak untuk ikut mengambil bagian dalam percakapan global.
Kebijakan baru pemerintah Uganda juga mendapat perlawanan dan tekanan dari kelompok pengacara Uganda yang meminta hukum dan pengadilan membatalkannya. Upaya yang sepertinya sangat sulit bisa terwujud karena pemerintah Uganda termasuk yang paling korup di dunia. Untuk saat ini, warga yang ingin menggunakan media sosial tampaknya tidak punya pilihan selain membayar pajak atau menemukan celah di sekitarnya. Digitalmania. (AN)